Senin, 07 Januari 2008

HAKI Di INDONESIA

diberlakukannya UU HaKI ini menjadi “darah segar” bagi para pelaku bisnis TI di Indonesia. PT. Microsoft Indonesia, misalnya. Sebagai vendor pemilik hak cipta dari Microsoft Corporation, pihaknya menyambut gembira dengan akan diterapkannya UU HaKI ini. Maklum, karena produknya merupakan yang paling banyak dibajak.

Di samping itu, jika dibandingkan dengan dua UU sebelumnya, UU No. 19/2002 ini juga menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap perlindungan terhadap para pemilik hak cipta, terutama software. Di pasal 72 UU ini, misalnya, disebutkan bahwa pembajakan, pendistribusian, dan penggunaan software komputer untuk kepentingan komersial, dapat dikenakan sanksi pidana.

Namun, bukan berarti dengan diberlakukannya UU ini, Microsoft akan membabi-buta menuntut secara hukum perusahaan-perusahaan atau pihak-pihak yang menggunakan produknya secara ilegal.

Ada atau tidak ada UU tersebut, berlaku atau tidak berlakunya, efektif atau tidak efektif perlindungannya, kami akan tetap jualan software. Kami akan tetap jualan teknologi,” ujar Diana Soedardi Ardian, Business Development Manager PT. Microsoft Indonesia kepada eBizzAsia belum lama ini.

Menurut Diana, meski perusahannya tidak melakukan tindakan, namun jika aparat penegak hukum melihat adanya pelanggaran mereka berhak melakukan penegakan hukum yang sudah seharusnya dijalankan. “Kami sendiri memiliki mekanisme, baik secara pidana maupun perdata,” tegasnya.

Namun, dari sisi penegakan hukum, Microsoft memiliki kewajiban moral untuk membantu Pemerintah mendidik masyarakat akan pentingnya perlindungan HaKI. Karenanya, Microsoft terlibat dalam banyak asosiasi, seperti Aspiluki (Asosiasi Piranti Lunak dan Telematika Indonesia) dan Masyarakat Anti Pemalsuan Indonesia (MAPI) untuk membantu Pemerintah atau aparat melakukan pendidikan kepada masyarakat. “Karena diberlakukan UU ini bukan untuk kepentingan vendor asing atau perlindungan para developer lokal,” ujar Diana.

Pertumbuhan Pasar Software Domestik
Tahun 2002 – 2004*

2002

US$ 50,1 juta

2003

US$ 73,5 juta

2004

US$ 101,4 juta

Hal ini diamini pula oleh Hidayat Tjokrodjojo, Ketua Umum Apkomindo (Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia). Kepada eBizzAsia Hidayat mengatakan, HaKI ini memang baik, dalam arti melindungi tidak hanya dari pihak luar negeri, tetapi juga melindungi hak cipta pihak-pihak di dalam negeri.

“Apkomindo sendiri selama ini tidak menjual software bajakkan. Kita membantu costumer untuk menginstal jika ada komputer yang rusak. Tetapi tidak mendapat uang, akibatnya rugi,” tuturnya.

Sekarang, masih kata Hidayat, dengan UU HaKI ini, costumer yang ingin membeli software yang asli harus membayar kepada pengusaha komputer. Soalnya, perusahaan pembuat software tidak menjual langsung kepada end-user, melainkan kepada pengusaha komputer. Pada saat menjual komputer, tentunya pengusaha komputer mendapatkan margin.

“Dulu tidak pernah mendapatkan keuntungan dari software, baik Microsoft maupun pengusaha komputer, sehingga masyarakat yang menggunakan software secara ilegal dikatakan sebagai pembajak”, terangnya.

Tak pelak, memang. Untuk mendapatkan software asli berlisensi, konsumen harus mengeluarkan biaya yang relatif besar. Tak kurang dari 200 dollar untuk software Microsoft dengan Windows-nya. Itu baru operating system software-nya. Sedangkan untuk Microsoft Office-nya sekitar 500 dollar. Jadi kalau membeli itu semua komplit 700 dollar yang harus dibayar.

HaKI di Indonesia

● Kultur menghargai “hak” masih belum lazim,

apalagi untuk hal yang intangible

● Produk yang intangible / dapat dibuat dalam

format digital:

– Musik, film/video, buku, software

– Copy dari digital data sama kualitasnya dengan

aslinya

Hanya musik yang menjadi raja di negeri ini.

Mengapa? Yang lain harus belajar dari musik

Tidak ada komentar: